Home

Minggu, 09 Februari 2014

Ny. Mutiara Djokosoetono (Pendiri Taksi Blue Bird)


Bagi warga Jakarta sudah pasti mengenal taksi Blue Bird, ya sebuah armada taksi yang banyak bersleweran di kota Jakarta, dan sudah merupakan salah satu jenis kendaraan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di ibukota Jakarta. Pendiri Taksi Blue Bird adalah seorang  perempuan pejuang dari malang bernama Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono yang dilahirkan di Malang pada 17 Oktober 1921. Berasal dari keluarga berada, namun pada usia 5 tahun keluarganya bangkrut. Kehidupan berubah drastis. Dari seorang gadis cilik yang dikelilingi fasilitas hidup baik kemudian menjadi miskin. Ia kemudian meniti bangku sekolah dalam kesederhanaan luar biasa. Banyak hal yang mencirikan kesederhanaan hidup Bu Djoko semasa kecil. Makanan yang tak pernah cukup, pakaian seadanya, tak pernah ada uang jajan. Hidup betul – betul bertumpu pada kekuatan untuk tabah. Menginjak remaja ketegaran semakin terasah. Ia bertekad memperkaya diri dengan ilmu dan kepintaran. Di saat yang sulit itu ia berusaha merengkuh bahagia diantaranya banyak membaca kisah – kisah inspiratif yang diperoleh dengan meminjam. Salah satu kisah legendaris yang selalu menghiburnya adalah “Kisah Burung Biru” atau “The Bird Happiness”. Kisah tersebut dilahap berkali – kali dan selalu membakar semangatnya, penabur inspirasi dan pemacu cita – citanya.

Bu Djoko remaja menyelesaikan pendidikan HBS di tahun 30-an dan kemudian lulus Sekolah Guru Belanda atau Europese Kweekschool. Dengan tekad yang kuat ia meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Jakarta. Dan berhasil masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesai dengan menumpang di rumah pamannya di Menteng. Kemudian jalan hidup membawa berkenalan dengan Djokosoetono, dosen yang mengajarnya, yang juga pendiri serta Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Laki – laki itulah yang menikahinya selagi Bu Dkoko masih kuliah. Hingga dikaruniai 3 anak yaitu Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro. Sepanjang dasawarsa 50-an, Bu Djoko bersama keluarga melewatkan kehidupan yang sangat sederhana. Setelah lulus dari FHUI tahun 1952 dan langsung bekerja sebagai dosen di FHUI dan PTIK. Mereka kemudian menempati rumah  dinas atas pekerjaan suaminya di jalan HOS Cokroamininoto Nomor 107, Menteng. Mereka dikepung oleh lingkungan yang mewah dan orang – orang dengan kemapanan materi di atas rata  - rata. Sementara keluarga Djokosoetono praktis hanya memiliki uang kebutuhan berjalan. Untuk menambah penghasilan keluarga, Bu Djoko berjualan batik door to door. Tak ada gengsi, tak ada malu, tak ada rasa takut direndahkan oleh sesame isteri pejabat tinggi. Semuanya dilakukan murni sebagai kepedulian isteri untuk membantu suami mencar nafkah.


Namun penjualan batik yang sempat sukses kemudian menurun. Hingga Bu Djoko beralih kemudi berusaha telur di depan rumahnya. Realita berjualan telur menjadi pilihan bisnis yang brilian masa itu. Saat itu telur belum sepopuler sekarang. Masih dianggap bahan makanan eksklusif yang hanya dikonsumsi orang – orang menengah ke atas. Dengan lincah Bu Djoko mencari pemasok telur terbaik di Kebumen. Perlahan – lahan usaha telur Bu Djoko dan keluarga terus meningkat. Kegembiraan akan keberhasilan usaha menjadi berkabut lantaran kesedihan memikirkan sakit Pak Djoko  meski pemerintah memberikan bantuan penuh untuk biaya perawatan Pak Djoko. Meski demikian, penyakit Pak Djoko tak kunjung sembuh, sampai akhirnya pada tanggal 6 Desember 1965 beliau wafat. Tak berapa lama setelah kepergian Pak Djoko, PTIK dan PTHM memberi kabar yang cukup menghibur keluarga. Mereka mendapatkan dua buah mobil bekas, sedan Opel dan Mercedes. Disinilah embrio lahirnya Taksi Blue Bird.

Pada saat malam, Bu Djoko mulai merancang gagasan bagi operasional taksi yang dimulai dengan dua buah sedan pemberian yang dimiliki. Ia mengkhayalkan taksinya menjadi angkutang yang dicintai penumpangnya. Apa sih bisnis taksi itu? Tentu ia mendambakan keamanan dan kepastian. Apa jantung dari usaha itu? Pelayanan, tidak lebih. Lalu bagaimana agar bisnis itu tidak hanya sukses melayani penumpang tapi juga sukses mendulang keuntungan? Buat manajemen yang rapi. Dalam wacana yang sangat sederhana, Bu Djoko menyusun konsep untuk menjalankan usaha taksinya. Setelah memikirkan mobil dan cara mengelola, ia memikirkan pengemudi. Bagaimana menciptakan aturan main kerja sehingga pengemudi merasakan cinta saat bertugas? Bu Djoko dengan cepat menjawab pertanyaannya sendiri. Ia memperlakukan mereka seperti anak – anaknya sendiri. Pengemudi itu akan dididik dengan baik, dibina, dirangkul untuk sama – sama berkembang. Setelah puas menuangkan tentang hal – hal yang ia kerjakan, Bu Djoko tertidur dengan perasaan bahagia.

Inilah fase yang penting dalam sejarah kelahiran Blue Bird. Yakni ketika Bu Djoko menatap memulai bisnis taksi dalam rancangan idealisme yang ia buat. Walau bermodal dua mobil saja, tapi visinya sudah jauh ke depan. Dibantu ketiga anak dan menantu maka dimulailah usaha taksi gelap Bu Djoko. Uniknya usah taksi tersebut menggunakan penentuan tariff sistem meter yang kala itu belum ada di Jakarta. Untuk order taksi, ia menggunakan nomor telefon rumahnya. Karena Chandra ditugaskan menerima telepon dari pelanggan maka orang – orang menamakan taksi itu sebagai taksi Chandra. Taksi Chandra yang hanya dua sedan itu kemudian melesat popular di lingkungan Menteng karena pelayanan yang luar biasa. Order muncul tanpa henti. Dari hasil keutungan saat itu, Bu Djoko bisa membeli mobil lagi. Kombinasi antara Bu Djoko yang berdisplin tinggi dan penuh passion dalam menjalankan usahanya berpadu harmonis dengan pembawaan Chandra yang cermat dan tenang. Semua problem dalam menjalani taksi dibawa dalam rapat keluarga untuk dicari solusinya.

Permintaan akan Taksi Chandra terus mengalir. Usaha yang semula ditujukan untuk menjaga kestabilan ekonomi keluarga, kemudian berkembang menjadi bisnis yang amat serius. Beberapa mobil yang telah dimiliki dirasa kurang mencukupi. Titik layanan kian melebar, tak hanya di daerah Menteng, tebet, Kebayoran Baru dan wilayah – wilayah di Jakarta Pusat, tapi juga sampai ke Jakarta Timur, Barat dan Utara. Di era akhir dialami keluarga Bu Djoko tengah mempersiapkan asawarsa 60-an secara alamiah memasuki babak baru yang sangat penting. Sebuah fase dimana kehidupan berbisnis tidak lagi sekedar “aktivitas keluarga” untuk menambah rezeki. Pada tahun – tahun menjelang 1970 realita membuktikan bahwa mereka mampu membesarkan armada dan mendulang keuntungan yang signifikan. Mereka bisa menambah jumlah  mobil sendiri lebih dari 60 buah.

Memasuki dasawarsa 70-an, sebuah kabar gembira berkumandang. Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta saat itu mengumumkan Jakarta akan memberlakukan izin resmi bagi operasional taksi. Didasari kenyataan bahwa masyarakat Jakarta sangat membutuhkan taksi. Peluang ini direspons dengan insting luar biasa dari Bu Djoko. Maka memasuki tahun 1971, dengan spirit penuh ia segera berangkat ke DLLAJR untuk mendapatkan surat izin operasional. Namun anti klimaks dari harapan, Bu Djoko selalu ditolak karena alasan bisnis dia masih kecil. Memang saat itu yang mendapatkan izin adalah perusahaan – perusahaan yang pernah menjalankan bisnis angkutan besar. Namun Bu Djoko sosok yang tak kenal putus asa. Tak terhitung jumlahnya berapa kali dia selalu mengalami penolakan. Hingga terbesit ide brilian untuk mengumpulkan isteri janda pahlawan yang telah menitipkan mobil mereka untuk dikelola sebagai taksi. Diajaknya para janda pahlawan untuk bersama – sama menyerukan petisi kemampuan perempuan dalam memimpin usaha. Mereka mendatangi kantor gubernur dan menghadap langsung Ali Sadikin. Menghadapi orasi Bu Djoko, Ali sadikin tersentuh dan menetapkan agar Bu Djoko diberikan izin usaha untuk mengoperasikan taksi. Sungguh sebuah pencapaian menggembirakan dari kesabaran bolak – balik melobi DLLAJR. Walau akhirnya harus melalui pertemuan dengan Gubernur.

Bu Djoko tak berminat bergabung. Ia lebih berpikir untuk mencari jalan bagi kemandirian bisnisnya. Tak ada jalan lain untuk menghubungi Bank. Yang terjadi kemudian adalah sentuhan invicible hand yang bekerja dalam memudahkan Bu Djoko mendapat pinjaman Bank. Mantan murid suaminya dengan cepat membantu memuluskan proses di Bank dan pinjaman pun mengalir. Bagi Bu Djoko suatu yang sangat luar biasa. Di atas kertas sulit mendapatkan dana yang mencukupi untuk membeli 100 mobil. Tapi saat itu dia bisa! Di tahun itu pula Bu Djoko dan anak – anaknya bersiap mencari nama dan logo taksi. Taksi Chandra tetap dijalankan sebagai taksi per jam atau hourly. Sementara taksi baru di bawah PT Sewindu Taksi segera disiapkan namanya. Ide lagi – lagi datand dari Bu Djoko, hingga diberilah nama taksi Blue Bird. Dengan logo sederhana berupa Siluet burung berwarna biru tua yang sedang melesat, hasil karya pematung Hartono. Logo itu seperti pencapaian yang membuktikan bahwa ia mampu menghidupkan cita – cita yang diteladankan kisah The Bird of Happiness.

Pada tanggal 1 Mei 1972, jalan – jalan di Jakarta mulai diwarnai taksi – taksi berwarna biru dengan logo burung yang tengah melesat. Taksi itu mencerminkan semangat jerih dan idealism uang dikorbankan Bu Djoko. Bersama tim di PT. Sewindu Taxi, Ournomo pun mantap menjalankan tugas operasional perusahaan. Bisa dikatakan tahun – tahun 70-an merupakan masa penggodokan idealism Blue Bird. Dalam kesederhaan Bu Djoko memimpin perjalanan besar membawa Blue Bird siap mengarungi zaman. Dia menanamkan kepada awak angkutan bagaimana menumbuhkan sense of belonging yang tinggi terhadap Blue Bird dengan menjadi “serdadu – serdadu” tangguh dan penuh pengorbanan. Mereka menikmati masa – masa sangat bersahaja dimana teknologi sama sekali belum menyentuh Blue Bird. Di paruh kedua dasawarsa 70-an, kekuatan armada Blue Bird telah bertambah menjadi sekitar 200 lebih taksi. Pengelolaan yang sangat rapid an manajemen keluarga yang sehat memungkinkan PT. Sewindu Taxi yang menaungi Blue Bird menambah armadanya. Mobil – mobil tersebut ditempatkan di dua pool yang ada, di jalan Garuda, Kemayoran dan di jalan Mampang Prapatan. Purnomo dipercaya untuk memimpin Blue Bird sebagai ditektur operasional, setelah sang kakak Chandra fokus di PTIK.

Setelah melewati tahun – tahun yang berat dalam menegakkan idealism di era 70-an, dasawarsa selanjutnya mulai disiniari optimism yang lebih kuat. Nilai – nilai dan prinsip Blue Bird yang ditancapkan Bu Djoko telah berakar dan menghasilkan batang serta dahan yang sehat. Memasuki dasawarsa 80-an, Purnomo, Mintarsih, dan Bu Djoko semakin memperkuat kekompakkan. Chandra kadang – kadang ikut dalam diskusi selepas kesibukannya di PTIK. Sisa masalah dari tahun-tahun sebelumnya masih menjadi momok dan beberapa masalah krusial. Tapi purnomo yang sudah dimatangkan oleh pengalaman era 70-an sudah jauh lebih percaya diri untuk menghadapi kesulitan di lapangan. Purnomo melewatkan tahun – tahun awal di dasawarsa 80-an dengan kerja uang luar biasa keras. Setelah 8 tahun bisa bertahan, wajah bisnis ini terlihat sangat jelas. Blue Bird bisa mengukur diri apakah mampu melanjutkan perjalanan atau tidak. Bu Djoko dan ketiga anaknya bertekada maju terus.

Pada tahun 1985, 13 tahun setelah Blue Bird lahir, armada bertambah gemuk, hampir mencapai 2.000 taksi. Keyakinan Bu Djoko bahwa masyarakat perlahan tapi pasti akan memilih Blue bird dengan kualitas layanan proma dan sistem argometer yang terpercaya akan terbentuk. Dan benar! Saat itulah muncul banyak taksi – taksi tanpa meteran. Ketika masyarakat memilih taksi meteran yang layak, pilihan jatuh pada Blue Bird yang telah mantap menjalankan sistem agrometer selama belasan tahun. Memasuki paruh kedua dasawarsa 80-an bisa dibilang Blue Bird terus memantapkan diri. Apresiasi masyarakat terbentuk, citra Blue Bird sebagai taksi ternyaman, teraman, dengan pengemudi yang santun telah dikenal luas dan menjadi suatu keyakinan yang mengakar. Inilah masa dimana operator Blue Bird sibuk melayani permintaan konsumen yang membeludak. Jumlah taksi terus bertambah mendekati 3.000 unit. Order terus meningkat. Blue bird tak pelak menjadi pilihan para pemilik gedung – gedung sebagai taksi resmi di tempat mereka. Blue Bird berkibar di banyak titik di Jakarta.

Kemajuan demi kemajuan tak terbendung lagi di tubuh Blue Bird. Manajemen yang rapi, idealisme yang dijaga ketat, pengaturan finansial yang sangat matang dan strategi ekpansi yang arif, membuat langkah kemajuan Blue Bird begitu tertata dan sangat cantik. Perpaduan antara kekuatan karisma Bu Djoko, agresivitas dan kreativitas Purnomo, serta ketenangan strategi Chandra membuat Blue Bird di era 90-an menunjukkan perkembangan yang sehat. Faktor yang mempengaruhi kemajuan Blue Bird di era ini, tak pelak adalah kemajuan persepsi masyarakat. Sungguh tepat prediksi Bu Djoko tentang perusahaan taksi masa depan. Bahwa kelak di kemudian hari, masyarakat akan mencari, membutuhkan dan fanatic pada taksi yang teruji kualitas pelayanannya, aman, prima dan nyaman. Argometer yang dulu jadi momok dan dianggap “mimpi di siang bolong” ternyata tak terbukti. Justru argometer yang dipakai Blue Bird menjadi standar paling fair yang dicari penumpang.

Inilah catatan penting dari perjuangan Bu Djoko dalam membidik sukses masa depan: kesabaran, teguh dalam prinsip, kepemimpinan yang tegas dan bijaksana serta profesionalisme. Setelah perjuangan berat di era 70-an dan 80-an, maka era 90-an memberikan Blue Bird Group manis buah yang manis. Perkembangan asset adalah hal yang paling menonjol jika membicarakan kemajuan Blue Bird di era 90-an. Jumlah taksi sebelum krismon mencapai hampir 5.000 mobil. Jumlah pool terus bertambah. Blue Bird pun berkembang di sejumlah Provinsi. Generasi 90-an akhirnya ikut merasakan bagaimana tegak di tengah kepungan terror pihak yang tak suka akan kehadiran Blue Bird. Sebuah inovasi baru juga dilakukan Blue Bird Group melalui peluncuran Silver Bird, Executive Taxi pada tahun 1993.

Di negara – negara lain tidak ada yang namanya executive taxi. Yang beredar adalah general taxi dengan batas tarif yang telah ditentukan pemerintah. Ide diawali oleh diadakannya KTT Non Blok yang digelar di Indonesia tahun 1992. Saat itu pemerintah menyediakan fasilitas mobil mewah untuk kebutuhan mobilitas semua peserta KK, yakni 320 sedan Nissan Cedric. Pemerintah akhirnya menunjuk Blue Bird menyediakan 320 penggemudi andal dan berpengalaman. Usai KTT, ratusan sedan mewah tersebut menganggur. Saat itu lahirlah pemikiran untuk menciptakan satu produk baru berupa taksi kelas eksekutif yang lebih mewah. Akhirnya Blue Bird membeli 240 dari 320 sedan mewah eks KTT dan menjadikannya sebagai Silver Bird.

Tanggal 1 Mei 1997, Blue Bird juga meresmikan kelahiran Pusaka Group yang diniatkan menjadi generasi yang lebih segar dan dinamis dari armada taksi yang sudah ada. Hadirnya Pusaka Group yang menggiurkan taksi Cendrawasih dan Pusaka Nuri pada awalnya merupakan cita – cita Blue Bird untuk melahirkan generasi baru Blue Bird yang lebih modern. Sebagai perusahaan konservatif, Blue Bird sangat berhati – hati meluncurkan bisnis batu yang belum bisa dijamin nasib masa depannya. Maka mantaplah kemudian dilahirkan Pusaka Group sebagai anak perusahaan yang lebih dinamis, tidak konservatif, agresif bergerak di daerah dan dikelola murni oleh keluarga Bu Djoko. Pusaka Group ternyata menunjukkan keberhasilannya. Selanjutnya didirikan Golden Bird yang beroperasi di Bali. Diikuti daerah – daerah lain seperti Surabaya, Bandung, Manado, Medan, Palembang dan Lombok.

Di dasawarsa 90-an kesehatan Bu Djoko merosot akibat serangan kanker paru – paru. Sosoknya bersemangat tak merasa tersudutkan oleh penyakitnya. Sambil terus memimpin perusahaannya, Bu Djoko menyediakan banyak waktu, perhatian dan tenaga untuk menyembuhkan penyakitnya. Tapi kanker paru – paru yang dideritanya terlalu buas untuk tubuhnya yang semakin menua. Pada tanggal 10 Juni tahun 2000 ia menutup mata di RS Medistra. Sang Burung Biru itu telah pergi. Tapi ia meninggalkan sesuatu yang tak pernah terhapus waktu. Semangat murninya tidak hanya tersimpan di hari anak – anak dan cucunya. Tapi juga mengalir di segenap batin puluhan ribu karyawannya, mengudara di gedung – gedung dan pool Blue Bird dan melesat bersama taksi – taksi Blue Bird yang melintas di jalan – jalan. Blue Bird di era Millenium bagaikan burung yang terbang tinggi, melebarkan kepak sayapnya dan menambah cakrawala luas. Kehadiran para cucu, meningkatnya pengalaman Chandra dan Purnomo dan semakin tingginya jam terbang karyawan membuat perusahaan ini terbaik di bidangnya. Pada dasawarsa keempat Blue Bird berjuang melintasi era teknologi canggih dan berusaha luwes.

Perusahaan ini telah berkembang sedemikian rupa seperti benih yang menumbuhkan batang kuat dan menghasilkan rimbun dedaunan dengan dahan yang terus bertambah banyak. Dari awal bergulirnya dengan 25 kekuatan taksi, kini Blue Bird telah memiliki lebih dari 20.000 unit armada. Kini ada 30.000 karyawan yang berkarya di kantor pusat dan cabang. Tak kurang 9 juta penumpang dalam sebulan terangkut oleh armada Blue Bird di sejumlah kota di Indonesia. Jumlah pool telah mencapai 28 titik. Armada juga terus diremajakan. Beberapa kali mengganti kendaraan dengan yang baru. Armada Silver Bird yang semula menggunakan sedan Nissan Cedric kemudian diganti dengan Mercedes di tahun 2006. Sebuah terobosan luar biasa yang mencengangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar