Anies Rasyid Baswedan Ph.D atau Anies Baswedan dilahirkan pada tanggal 7 Mei 1969 di Kuningan, provinsi Jawa Barat, Anis Baswedan merupakan anak pertama dari pasangan Drs. Rasyid Baswedan, S.U. yang bekerja sebagai Dosen Fakultas Ekonomi di Universitas Islam Indonesia dan Prof. Dr. Aliyah Rasyid, M.Pd. yang berkerja sebagai Guru besar dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik di Universitas Negeri Yogyakarta), Anies Baswedan merupakan cucu dari Abdurrachman Baswedan (AR Baswedan), beliau merupakan salah seorang pejuang pergerakan nasional dan pernah menjadi Menteri Penerangan pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Anies Baswedan merupakan intelektual muda asal Indonesia dan colon pemimpin indonesai di masa mendatang.
Sejak
kecil Anies Baswedan telah akrab dengan dunia organisasi dan kepemimpinan.
Ketika usianya baru 12 tahun, Anies membentuk kelompok anak – anak muda (7 – 15
tahun) kampungnya yang diberi nama ‘Kelabang’ (Klub Anak Berkembang), Mereka
mengadakan berbagai kegiatan olahraga dan kesenian. Anies Baswedan memulai
pendidikan formalnya menjelang usia lima tahun. Ia masuk ke sekolah TK Mesjid
Syuhada di Kota Baru, Yogyakarta. Kemudian, memasuki usia enam tahun Anies
dimasukkan ke SD Laboratori Yogyakarta. Anies melanjutkan masa SMP-nya di SMP
Negeri 5 Yogyakarta. Kemudian, Anies melanjutkan masa SMA-nya di SMAN 2
Yogyakarta. Ketika SMA, Anies pernah menjadi ketua OSIS se-Indonesia ketika ia
mengikuti pelatihan kepemimpinan di Jakarta pada September 1985. Ia menjadi
ketua untuk 300 delegasi SMA – SMA se-Indonesia. Saat itu Anies baru berada di
kelas satu. Anies menjalani SMA selama 4 tahun pada 1985 – 1989 karena terpilih
sebagai peserta dalam program AFS. Anies mengikuti program pertukaran pelajar
AFS intercultural Programs, yang di Indonesia diselenggarakan oleh Bina
Antarbudaya, selama satu tahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat (1987 –
1988). Semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) (1989 – 1995), dia aktif
di gerakan mahasiswa dan menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM. Sewaktu
menjadi mahasiswa UGM, dia mendapatkan beasiswa Japan Airlines Foundation untuk
mengikuti kuliah musim panas bidang Asian Studies di Universitas Sophia di
Tokyo, Jepang.
Setelah
lulus kuliah di UGM pada 1995, Anies bekerja di Pusat Antar Universitas Studi
Ekonomi di UGM. Kemudian, Anies mendapatkan beasiswa Fullbrigt untuk pendidikan
Master bidang Internasional Security and Economic Policy di Universitas
Maryland, College Park. Sewaktu kuliah, dia dianugerahi William P. Cole III
Fellow di Maryland School of Public Policy, ICF Scholarship, dan ASEAN Student
Award. Pada 2005, Anies menjadi peserta Gerald Maryanov Fellow di Departemen
Ilmu Politik di Pola Demokrasi di Indonesia”. Ketika berada di Amerika Serikat,
Anies aktif di dunia akademik dengan menulis sejumlah artikel dan menjadi
pembicara dalam berbagai konferensi. Ia banyak menulis artikel mengenai
desentralisasi, demokrasi, dan politik islam di Indonesia. Artikel jurnalnya
yang berjudul “Political Islam : Present and Future Trajectory” dimuat di Asian
Survey, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas California. Sementara,
artikel Indonesian Politics in 2007: The Presidency, Local Elections and The
Future of Democracy diterbitkan oleh BIES, Australian National University.
Sepulang ke Indonesia, Anies Bekerja sebagai National Advisor bidang
desentralisasi dan otonomi daerah di Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan, Jakarta (2006 – 2007). Selain itu pernah juga menjadi peneliti
utama di Lembaga Survei Indonesia (2005 – 2007).
Pada
15 Mei 2007, Anies Baswedan dilantik menjadi rektor Universitas Paramadina.
Anies menjadi rektor menggantikan posisi yang dulu ditempati oleh cendekiawan
dan intelektual Muslim, Nurcholish Madjid, yang juga merupakan pendiri universitas
tersebut. Saat itu baru berusia 38 tahun dan menjadi rektor termuda di
Indonesia. Majalah Foreign Policy memasukan Anies dalam daftar 100 intelektual
Publik Dunia. Nama Anies Baswedan tercantum sebagai satu – satunya orang
Indonesia yang masuk pada daftar yang dirilis majalah tersebut pada edisi April
2008. Anies berada pada jajaran nama – nama tokoh dunia antara lain tokoh
perdamaian, Noam Chomsky, para penerima penghargaan Nobel, seperti Shirin
Ebadi, Al Gore, Muhammad Yunus, dan Amartya Sen, serta Vaclav Havel, filsuf,
negarawan, sastrawan, dan ikon demokrasi dari Ceko. Sementara, World Economic
Forum, berpusat di Davos, memilih Anies sebagai salah satu Young Global Leaders
(Februari 2009). Kemudian pada April 2010, Anies Baswedan terpilih sebagai satu
dari 20 tokoh yang membawa perubahan dunia untuk 20 tahun mendatang versi
majalah Foresight yang terbit di Jepang akhir april (2010). Dalam edisi khusus
yang berjudul “20 orang 20 tahun”, majalah Foresight menampilkan 20 tokoh yang
diperkirakan akan menjadi perhatian dunia. Mereka akan berperan dalam perubahan
dunia dua decade mendatang. Presiden Venezuela Hugo Chavez, Menlu Inggris David
Miliband, anggota Parlemen dan Sekjen Indian National Congress India Rahul
Gandhi, serta politisi mudah Partai Republik dan Anggota House of
Representative AS, Paul Ryan.
Perihal
pendidikan tinggi, menurut Anies, hubungan mahasiswa dan perguruan tinggi
bukanlah hubungan transaksional komersial. Sebuah perguruan tinggi tidak boleh
memandang dirinya sebagai penjual jasa pendidikan dan memandang mahasiswa
sebagai pembelinya. Pendidikan tinggi di Indonesia seharusnya dipahami oleh
pelakunya sebagai pendorong kemajuan bangas dan memosisikan mahasiswa sebagai
agent of change (agen perubahan). Anies menganggap bahwa pemuda inilah yang
akan menggantikan peran generasi tua pada masa depan. Dalam hal pengelolaan
pendidikan, Anies berpendapat bahwa hal tersbut memang mahal. Baginya, ini
merupakan tantangan bagi pimpinan institusi pendidikan untuk kreatif membuat
alternatif model – model pendanaan, baik dari pemerintah maupun swasta. Sebagai
seorang akademisi, bagi Anies, pendidikan harus ditunjang oleh kemandirian
dalam pembiayaan pendidikan itu adalah suatu keniscayaan. Di awal mungkin
perguruan tinggi memang perlu dibiayai pemerintah, tetapi dalam perjalanan
selanjutnya harus dapat mandiri. Bahkan, dalam hal ini, Anies menyatakan bahwa
perguruan tinggi harus mampu menerjemahkan bahasa pengelolaan pendidikan dalam
bahasa pengelolaan bisnis modern.
Pada
2008, ia merintis program beasiswa di Universitas Paramadina bernama Paramadian
Fellowship. Program ini mengadopsi konsep yang biasa digunakan di universitas –
universitas di Amerika Utara dan Eropa dengan menyematkan nama sponsor sebagai
penerima beasiswa. Jika mahasiswa A mendapat beasiswa dari Institusi B, yang
memang menjadi salah satu sponsor, di belakang nama mahasiswa dicantumkan nama
sponsor, menjadi A, Paramadina, Institusi B Fellow. Sebagai contoh Andi,
Paramadina Adaro Fellow. Predikat itu wajib digunakan dalam berbagai publikasi
dan tulisan. Anies mengaku bahwa kunci keberhasilan sebuah perguruan tinggi
adalah menerima yang terbaik (admit for the best). Selain itu, bagi Anies,
lulusan perguruan tinggi yang baik adalah bukan yang setelah lulus berlomba
membuat CV(Curriculum Vitae) sebagus mungkin. Baginya, mahasiswa harus dapat
membuat proposal bisnis ketika lulus. Harapannya, mereka bukan mencari
pekerjaan kelak tetapi akan membuka lapangan pekerjaan.
Menurut
anies, mahasiswa memiliki tiga karakter utama, yakni intelektualitas, moral dan
ke-oposisi-an. Selama ini, dua karakter terakhir sudah dapat dikatakan tuntas.
Timbulnya pergerakan organisasi – organisasi mahasiswa menunjukkan karakter
oposisi mahasiswa. Meski kadang terlihat anarkis, tetapi mahasiswa telah mengerti
batasan – batasan moral yang harus dijaga. Akan tetapi, karakter pertama,
intelektualitas, masih belum dihayati. Implementasi karakter tersebut adalah
kemampuan menulis dan berbahasa internasional. Anies menegaskan bahwa dalam
satu waktu, seseorang bukan hanya warga sebuah negara, tetapi juga menjadi
“warga dunia”. Dengan kesadaran menjadi “warga dunia”, mahasiswa dapat melihat
ke depan. Menurut Anies, kompetitor mahasiswa Indonesia bukanlah mahasiswa lain
dari perguruan tinggi terkemuda di tanah air, tetapi mahasiswa – mahasiswa yang
merupakan lulusan Melbourne, Amerika – Serikat, Tokyo dan lain – lain yang
memiliki kemampuan bahasa, ilmu pengetahuan dan jaringan internasional luas.
Menurutnya,
saat ini harus ada kesadaran melampaui Indonesia, beyond Indonesia. Dalam dunia
akademik yang kompetitif seperti itu, maka kemampuan menulis menjadi perlu.
Penyampaian ide dalam bentuk tulisan akan berharga sekali. Bahkan, menurut
anies, dalam membangun peradaban, kemampuan menulis menjadi fundamental. Selain
itu, kemampuan berbahasa internasional akan membantu mahasiswa untuk
menyampaikan ide – idenya. Di era globalisasi ini, akumulasi pengetahuan jangan
sampai sia –sia hanya karena dua syarat itu diabaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar