Prof.
Nelson Tansu, Ph.D dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, tanggal 20 Oktober
1977. Dia adalah anak kedua di antara tiga bersaudara buah pasangan Iskandar
Tansu dan Lily Auw yang berdomisili di medan, Sumatera Utara. Kedua orang tua
Nelson adalah pebisnis percetakan di Medan. Mereka adalah lulusan universitas
di Jerman. Abang Nelson Tony Tansu, adalah Master dari Ohio, AS. Begitu juga
adiknya, Inge Tansu, adalah lulusan Ohio State University (OSU). Tampak jelas
bahwa Nelson memang berasal dari lingkungan keluarga berpendidikan. Ia adalah
lulusan terbaik SMU Sutomo 1 Medan pada tahun 1995 dan juga menjadi finalis Tim
Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI).
Setelah
menamatkan SMA, ia memperoleh beasiswa dari Bohn’s Scholarships untuk kuliah di
jurusan matematika terapan, teknik elektro, dan fisika di Universitas
Wisconsin-Madison, Amerika Serikat. Tawaran ini diperolehnya karena ia menjadi
salah satu finalis TOFI. Ia berhasil meraih gelar bachelor of science kurang
dari tiga tahun dengan peringkat summa cum laude. Setelah menyelesaikan program
S-1 pada tahun 1998, ia mendapatkan banyak tawaran beasiswa dari berbagai
perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat. Walaupun demikian, ia memilihi
tetap kuliah di Universitas Wisconsin dan meraih gelar doctor di bidang
electrical engineering pada bulan Mei 2003.
Selama
menyelesaikan program doctor, Prof. Nelson memperoleh berbagai prestasi
gemilang di antaranya adalah WARF Graduate University Fellowships dan Graduate
Dissertator Travel Funding Award. Penelitian doktornya di bidang photonics,
optoelectronics, dan semiconductor nanostructures juga meraih penghargaan
tertinggi di departemennya, yakni the 2004 Harold A. Peterson Best ECE Research
Paper Award.
Setelah
memperoleh gelar doktor, Nelson mendapat tawaran menjadi asisten professor dari
berbagai universitas ternama di amerika serikat. Akhirnya pada awal tahun 2003,
ketika masih berusia 25 tahun, ia menjadi asisten professor di bidang
electrical and computer engineering, Leigh University. Leigh University
merupakan sebuah universitas papan atas di bidang teknik dan fisika di kawasan
East Coast, Amerika Serikat.
Saat
ini Prof. Nelson menjadi professor di universitas ternama di amerika, Leigh
University, Pensilvania dan mengajar para mahasiswa di tingkat master (S-2),
doktor (S-3) dan post doctoral Departemen Teknik konferensi dan jurnal ilmiah
internasional. Ia juga sering diundang menjadi pembicara utama di berbagai
seminar, konferensi dan pertemuan intelektual, baik di berbagai kota di AS dan
luar AS seperti Kanada, Eropa dan Asia. Ada tiga penemuan ilmiahnya yang telah
dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor
nanostructure optoelectronics devices and high power semiconductor lasers.
Ketika
masih di Sekolah Dasar, Prof. Nelson gemar membaca biografi para fisikawan
ternama. Ia sangat mengagumi prestasi para fisikawan tersebut karena banyak
fisikawan yang telah meraih gelar doktor, menjadi professor dan bahkan ada
beberapa fisikawan yang berhasil menemukan teori (eyang Einstein) ketika masih
muda. Karena membaca riwayat hidup para fisikawan tersebut, sejak masih sekolah
dasar, Prof. Nelson sudah mempunyai cita – cita ingin menjadi Professor di
universitas di Amerika Serikat.
Walaupun
saat ini tinggal di Amerika Serikat dan masih menggunakan passport Indonesia,
Prof. Nelson berjanji kembali ke Indonesia jika pemerintah Indonesia sangat
membutuhkannya.
Dia
sering diundang menjadi pembicara utama dan penceramah di berbagai seminar.
Paling sering terutama menjadi pembicara dalam pertemuan – pertemuan
intelektual, konferensi dan seminar di Washington DC. Selain itu, dia sering
datang ke berbagai kota lain di AS. Bahkan, dia sering pergi ke mancanegara
seperi Kanada, sejumlah negara di Eropa dan Asia.
Yang
mengagumkan, sudah ada tiga penemuan ilmiahnya yang dipatenkan di AS, yakni
bidang semiconductor nanostructure,
optoelectronics devices dan high
power semiconductor lasers. Di
tengah kesibukannya melakukan riset – riset lainnya, dua buku Nelson sedang
dalam proses penerbitan. Bukan main!!!
Kedua
buku tersebut merupakan buku teks (buku wajib pegangan, Red) bagi mahasiswa S-1
di Negeri Paman Sam.
Karena
itu Indonesia layak berbangga atas prestasi anak bangsa di negeri rantau
tersebut. Lajang kelahiran Medan, 20 Oktober 1977, itu sampai sekarang masih
memegang paspor hijau berlambang garuda. Kendali belum satu decade di AS,
prestasinya sudah segudang. Kemana pun dirinya pergi, setiap ditanya orang,
Nelson selalu mengenalkan diri sebagai orang Indonesia. Sikap Nelson itu sangat
membanggakan di tengah banyak tokoh kita yang malu mengakui Indonesia sebagai
tanah kelahirannya.
“Saya
sangat cinta tanah kelahiran saya. Dan, saya selalu ingin melakukan yang
terbaik untuk Indonesia,” katanya, serius.
Di
Negeri Paman Sam. Kecintaan Nelson terhadap negerinya yang dicap sebagai
terkorup di Asia tersebut dikonkretkan dengan memperlihatkan ketekunan serta
prestasi kerjanya sebagai anak bangsa. Saat berbicara soal Indonesia, mimic
pemuda itu terlihat sungguh – sungguh dan jauh dari basa – basi.
“Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang mampu bersaing
dengan bangsa – bangsa besar lainnya. Tentu saja jika bangsa kita terus bekerja
keras,” kata Nelson menjawab Koran ini.
Anak
muda itu memang enak diajak mengobrol. Idealismenya berkobar – kobar dan penuh
semangat. Layaknya professor Amerika, sosok Nelson sangat bersahaja dan bahkan
suka merendah. Busana kesehariannya juga tak aneh – aneh, yakni mengenakan
kemeja berkerah dan pantalon.
Sekilas,dia
terkesan pendiam. Pengetahuan dan bobotnya sering tersembunyi di balik
penampilannya yang seperti tak suka berbicara. Tapi, ketika dia mengajar arau
berbicara di konferensi para intelektual, jati diri akademis Nelson tampak.
Lingkungan akademisi, riset, dan kampus memang menjadi dunianya. Dia selalu
peduli pada kepentingan serta dahaga pengetahuan para mahasiswanya di kampus.
Ada
yang menarik disini. Karena tampangnya yang sangat belia, tak sedikit insan
kampus yang menganggapnya sebagai mahasiswa S-1 atau program Master. Dia dikira
sebagai mahasiswa umumnya. Namun, bagi yang mengenalnya, terutama kalangan
universitas atau jurusannya mengajar, begitu bertemu dirinya, mereka selalu
menyapanya hormat : Prof. Tansu.
“Di
semester Fall 2003, saya mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang physics and
applications of photonics crystals. Di semester Spring 2004, sekarang, saya
mengajar kelas untuk mahasiswa senior dan master tentang semiconductor device
physics. Begitulah, “ ungkap Nelson menjawab soal kegiatan mengajarnya.
Septeber hingga Desember atau semester Fall 2004, jadwal mengajar Nelson sudah
menanti lagi. Selama semester itu, dia akan mengajar kelas untuk tingkat PhD
tentang applied quantum mechanics for semiconductor nanotechnology.
Selain
mengajar kelas – kelas di universitas, saya membimbing beberapa mahasiswa PhD
dan post-doctoral research fellow di Lehigh University ini,” jelasnya saat
ditanya mengenai kesibukan lainnya di kampus.
Nelson
termasuk individu yang sukses menggapai mimpi Amerika (American Dream). Banyak
imigran dan perantau yang mengadu nasib di negeri itu dengan segala
persaingannya yang superketat. Di Negeri Paman Sam tersebut, ada cerita sukses
seperti aktor yang kini menjadi Gubernur California Arnold Schwarzenegger yang
sebenarnya adalah imigran asal Austria. Kemudian, dalam Kabinet George Walker
Bush sekarang juga ada imigrannya, yakni Menteri Tenaga Kerja Elaine L. Chao.
Imigran asal Taipei tersebut merupakan wanita pertama Asian-American yang
menjadi menteri selama sejarah AS.
Negara
Superpower tersebut juga sangat baik menempa bakat serta intelektual Nelson.
Lulusan SMA Sutomo 1 Medan itu tiba di AS pada Juli 1995. Di sana, dia
menamatkan seluruh pendidikannya mulai S-1 hingga S-3 di University of
Wisconsin di Madison. Nelson menyelesaikan pendidikan S-1 di bidang applied
mathematics, electrical engineering, and physics. Sedangkan untuk PhD, dia
mengambil bidang electrical engineering.
Dari
seluruh perjalanan hidup dan karirnya, Nelson mengaku bahwa semua suksesnya itu
tak lepas dari dukungan keluarganya. Saat ditanya mengenai siapa yang paling
berpengaruh, dia cepat menyebut kedua orang tuanya dan kakeknya. “Mereka
menanamkan mengenai pentingnya pendidikan sejak saya masih kecil sekali, “
ujarnya.
Ada
kisah menarik disitu. Ketika masih sekolah dasar, kedua orang tuanya sering
membanding – bandingkan Nelson dengan beberapa sepupunya yang sudah doktor.
Perbandinga tersebut sebenarnya kurang pas. Sebab, para sepupu Nelson itu jauh
di atas usianya. Ada yang 20 tahun lebih tua. Tapi, Nelson kecil menganggapnya
serius dan bertekad keras mengimbangi sekaligus melampauinya. Waktu akhrinya
menjawab impian Nelson tersebut.
“Jadi,
terima kasih buat kedua orang tua saya. Saya memang orang yang suka dengan
banyak tantangan. Kita jadi terpacu, gitu, “ ungkapnya.
Nelson
mengaku mendiang kakeknya dulu juga ikut memicu semangat serta disiplin
belajarnya. “Almarhum kakek saya itu orang yang sangat baik, namun agak keras.
Tetapi, karena kerasnya, saya malah menjadi lebih tekun dan berusaha sesempurna
mungkin mencapai standar tinggi dalam melakukan sesuatu,” jelasnya.
Sisihkan
300 Doktor AS, tapi tetap rendah hati Nelson Tansu fisikawan ternama di
Amerika. Tapi, hanya sedikit yang tahu bahwa professor belia itu berasal dari
Indonesia. Di sejumlah kesempatan, banyak yang menganggap Nelson ada hubungan
family dengan mantan PM Turki Tansu Ciller. Benarkah?
Nama
Nelson Tansu memang cukup unik. Sekilas, sama sekali nama itu tidak
mengindikasikan identitas etnis, rasa atau asal negeri tertentu. Karena itu, di
Negeri Paman Sam, banyak yang keliru membaca, mengetahui atau berkenalan dengan
professor belia tersebut.
Malah
ada yang menduga bahwa dia adalah orang Turki. Dugaan itu muncul jika dikaitkan
dengan hubungan famili Tansu Ciller, mantan perdana menteri (PM) Turki.
Beberapa netters malah tidak segan – segan mencantumkan nama dan kiprah nelson
ke dalam website turki. Seolah – olah mereka yakin betul bahwa fisikawan belia
yang mulai berkibar di lingkaran akademisi AS itu memang berasal dari negerinya
Kemal Ataturk.
Ada
pula yang mengira bahwa Nelson adalah orang Asia Timur, tepatnya Jepang atau
Tiongkok. Yang lebih seru, beberapa universitas di Jepang malah terang –
terangan melamar Nelson dan meminta dia “kembali” mengajar di Jepang. Seakan –
akan Nelson memang orang sana dan pernah mengajar di Negeri Sakura itu.
Dilihat
dari nama, wajar jika kekeliruan itu terjadi. Begitu juga wajah nelson yang
seperti orang Jepang. Lebih - lebih di
Amerika banyak professor yang keturunan atau berasal dari Asia Timur dan jarang
– jarang memang asal Indonesia. Nelson pun hanya senyum – senyum atas segala
kekeliruan terhadap dirinya.
“Biasanya
saya langsung mengoreksi. Saya jelaskan ke mereka bahwa saya asli Indonesia.
Mereka memang agak terkejut sih karena memang mungkin jarang ada professor asal
aslinya dari Indonesia,” jelas Nelson
Tansu
sendiri sesungguhnya bukan marga kalangan Tionghoa. Memang, nenek moyang Nelson
dulu Hokkien dan marganya adalah Tan. Tapi, ketika lahir, Nelson sudah diberi
nama belakang “Tansu”, sebagaimana ayahnya, Iskandar Tansu.
Saya
suka dengan nama Tansu, kok, “kata Nelson dengan nada bangga.
Nelson
adalah pemuda mandiri. Semangatnya tinggi, tekun, visioner dan selalu mematok
standar tertinggi dalam kiprah riset dan dunia akademisinya. Orang tua nelson
hanya membiayai hingga tingkat S-1. Selebihnya? Berkat keringat dan prestasi
Nelson sendiri. Kuliah tingkat doktor hingga segala keperluan kuliah dan
kehidupannya di tanggung lewat beasiswa universitas.
“Beasiswa
yang saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kuliah dan
kebutuhan di universitas.” Katanya.
Orang
seperti Nelson dengan prestasi akademik tertinggi memang tak sulit memenangi
berbagai beasiswa. Jika dihitung = hitung, lusinan penghargaan dan anugerah beasiswa
yang pernah dia raih selama ini di AS.
Menjadi
professor di Negeri Paman Sam memang sudah menjadi cita – cita dia sejak lama.
Walau demikian, posisi assistant professor (professor Muda, Red) tak pernah
terbayangkan bisa diraih pada usia 25 tahun. Coba bandingkan dengan lingkungan
keluarga atau masyarakat Indonesia, umumnya apa yang di dapat pemuda 25 tahun?
Bahkan,
di AS yang negeri supermaju pun reputasi Nelson bukan fenomena umum. Bayangkan,
pada usia semuda itu, dia menyandang status guru besar. Sehari – hari dia
mengajar program master, doktor dan bahkan post doctoral. Yang prestisius bagi
seorang ilmuwan, ada tiga riset Nelson yang dipatenkan di AS. Kemudian, dua
buku tesknya untuk mahasiswa S-1 dalam proses penerbitan.
Tapi,
bukan Nelson Tansu namanya jika tidak santun dan merendah. Cita- citanya mulia
sekali. Dia akan tetap melakukan riset – riset yang hasilinya bermanfaat buat
kemanusiaan dan dunia. Sebagai professor di AS, dia seperti meniti jalan suci
mewujudkan idealisme tersebut.
Ketika
mendengar pengakuan cita – cita sejatinya, siapa pun pasti akan terperanjat.
Cukup fenomenal. “Sejak SD kelas 3 atau kelas 4 di Medan, saya selalu ingin
menjadi professor di universitas di Amerika Serikat. Ini benar – benar saya
cita – citakan sejak kecil,” ujarnya dengan mimic serius.
Tapi,
orang bakal mahfum jika melihat sejarah hidupnya. Ketika usai SD, Nelson kecil
gemar membacar biografi para ilmuwan – ilmuwan besar AS dan Eropa. Selain
Albert Einsten yang menjadi pujaannya, nama – nama besar seperti Werner
Heisenberg, Richard Feynman, dan Murray Gell-Mann ternyata sudah diakrabi
Nelson cilik.
“Mereka
hebat. Dari bacaan tersebut, saya benar – benar terkejut, tergugah dengan
prestasi para fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya muda sekali ketika meraih
PhD, jadi professor dan ada pula yang berhasil menemukan teori yang luar biasa.
Mereka masih muda ketika itu,” jelas Nelson penuh kagum.
Nelson
jadi professor muda di Lehigh University sejak awal 2003. Untuk bidang teknik
dan fisika, universitas itu termasuk unggulan dan papan atas di kawasan East
Coast, Negeri Paman Sam. Untuk menjadi professor di Lehigh, Nelson terlebih
dahulu menyisihkan 300 doktor yang resume (CV)-nya juga hebat – hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar