Bagi
warga Jakarta sudah pasti mengenal taksi Blue Bird, ya sebuah armada taksi yang
banyak bersleweran di kota Jakarta, dan sudah merupakan salah satu jenis
kendaraan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di ibukota Jakarta. Pendiri Taksi Blue Bird adalah
seorang perempuan pejuang dari malang
bernama Mutiara Siti Fatimah
Djokosoetono yang dilahirkan di Malang pada 17 Oktober 1921. Berasal dari
keluarga berada, namun pada usia 5 tahun keluarganya bangkrut. Kehidupan
berubah drastis. Dari seorang gadis cilik yang dikelilingi fasilitas hidup baik
kemudian menjadi miskin. Ia kemudian meniti bangku sekolah dalam kesederhanaan
luar biasa. Banyak hal yang mencirikan kesederhanaan hidup Bu Djoko semasa kecil.
Makanan yang tak pernah cukup, pakaian seadanya, tak pernah ada uang jajan.
Hidup betul – betul bertumpu pada kekuatan untuk tabah. Menginjak remaja
ketegaran semakin terasah. Ia bertekad memperkaya diri dengan ilmu dan
kepintaran. Di saat yang sulit itu ia berusaha merengkuh bahagia diantaranya
banyak membaca kisah – kisah inspiratif yang diperoleh dengan meminjam. Salah
satu kisah legendaris yang selalu menghiburnya adalah “Kisah Burung Biru” atau
“The Bird Happiness”. Kisah tersebut dilahap berkali – kali dan selalu membakar
semangatnya, penabur inspirasi dan pemacu cita – citanya.
Bu
Djoko remaja menyelesaikan pendidikan HBS di tahun 30-an dan kemudian lulus
Sekolah Guru Belanda atau Europese Kweekschool. Dengan tekad yang kuat ia
meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Jakarta. Dan berhasil masuk
Fakultas Hukum Universitas Indonesai dengan menumpang di rumah pamannya di
Menteng. Kemudian jalan hidup membawa berkenalan dengan Djokosoetono, dosen
yang mengajarnya, yang juga pendiri serta Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian. Laki – laki itulah yang menikahinya selagi Bu Dkoko masih kuliah.
Hingga dikaruniai 3 anak yaitu Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo
Prawiro. Sepanjang dasawarsa 50-an, Bu Djoko bersama keluarga melewatkan kehidupan
yang sangat sederhana. Setelah lulus dari FHUI tahun 1952 dan langsung bekerja
sebagai dosen di FHUI dan PTIK. Mereka kemudian menempati rumah dinas atas pekerjaan suaminya di jalan HOS
Cokroamininoto Nomor 107, Menteng. Mereka dikepung oleh lingkungan yang mewah
dan orang – orang dengan kemapanan materi di atas rata - rata. Sementara keluarga Djokosoetono
praktis hanya memiliki uang kebutuhan berjalan. Untuk menambah penghasilan
keluarga, Bu Djoko berjualan batik door to door. Tak ada gengsi, tak ada malu,
tak ada rasa takut direndahkan oleh sesame isteri pejabat tinggi. Semuanya
dilakukan murni sebagai kepedulian isteri untuk membantu suami mencar nafkah.
Namun
penjualan batik yang sempat sukses kemudian menurun. Hingga Bu Djoko beralih
kemudi berusaha telur di depan rumahnya. Realita berjualan telur menjadi
pilihan bisnis yang brilian masa itu. Saat itu telur belum sepopuler sekarang.
Masih dianggap bahan makanan eksklusif yang hanya dikonsumsi orang – orang
menengah ke atas. Dengan lincah Bu Djoko mencari pemasok telur terbaik di
Kebumen. Perlahan – lahan usaha telur Bu Djoko dan keluarga terus meningkat.
Kegembiraan akan keberhasilan usaha menjadi berkabut lantaran kesedihan
memikirkan sakit Pak Djoko meski
pemerintah memberikan bantuan penuh untuk biaya perawatan Pak Djoko. Meski
demikian, penyakit Pak Djoko tak kunjung sembuh, sampai akhirnya pada tanggal 6
Desember 1965 beliau wafat. Tak berapa lama setelah kepergian Pak Djoko, PTIK
dan PTHM memberi kabar yang cukup menghibur keluarga. Mereka mendapatkan dua
buah mobil bekas, sedan Opel dan Mercedes. Disinilah embrio lahirnya Taksi Blue Bird.
Pada
saat malam, Bu Djoko mulai merancang gagasan bagi operasional taksi yang
dimulai dengan dua buah sedan pemberian yang dimiliki. Ia mengkhayalkan
taksinya menjadi angkutang yang dicintai penumpangnya. Apa sih bisnis taksi
itu? Tentu ia mendambakan keamanan dan kepastian. Apa jantung dari usaha itu?
Pelayanan, tidak lebih. Lalu bagaimana agar bisnis itu tidak hanya sukses
melayani penumpang tapi juga sukses mendulang keuntungan? Buat manajemen yang
rapi. Dalam wacana yang sangat sederhana, Bu Djoko menyusun konsep untuk
menjalankan usaha taksinya. Setelah memikirkan mobil dan cara mengelola, ia
memikirkan pengemudi. Bagaimana menciptakan aturan main kerja sehingga
pengemudi merasakan cinta saat bertugas? Bu Djoko dengan cepat menjawab
pertanyaannya sendiri. Ia memperlakukan mereka seperti anak – anaknya sendiri.
Pengemudi itu akan dididik dengan baik, dibina, dirangkul untuk sama – sama
berkembang. Setelah puas menuangkan tentang hal – hal yang ia kerjakan, Bu
Djoko tertidur dengan perasaan bahagia.
Inilah
fase yang penting dalam sejarah kelahiran Blue Bird. Yakni ketika Bu Djoko
menatap memulai bisnis taksi dalam rancangan idealisme yang ia buat. Walau
bermodal dua mobil saja, tapi visinya sudah jauh ke depan. Dibantu ketiga anak
dan menantu maka dimulailah usaha taksi gelap Bu Djoko. Uniknya usah taksi
tersebut menggunakan penentuan tariff sistem meter yang kala itu belum ada di
Jakarta. Untuk order taksi, ia menggunakan nomor telefon rumahnya. Karena
Chandra ditugaskan menerima telepon dari pelanggan maka orang – orang menamakan
taksi itu sebagai taksi Chandra. Taksi Chandra yang hanya dua sedan itu
kemudian melesat popular di lingkungan Menteng karena pelayanan yang luar
biasa. Order muncul tanpa henti. Dari hasil keutungan saat itu, Bu Djoko bisa
membeli mobil lagi. Kombinasi antara Bu Djoko yang berdisplin tinggi dan penuh
passion dalam menjalankan usahanya berpadu harmonis dengan pembawaan Chandra
yang cermat dan tenang. Semua problem dalam menjalani taksi dibawa dalam rapat
keluarga untuk dicari solusinya.
Permintaan
akan Taksi Chandra terus mengalir. Usaha yang semula ditujukan untuk menjaga
kestabilan ekonomi keluarga, kemudian berkembang menjadi bisnis yang amat
serius. Beberapa mobil yang telah dimiliki dirasa kurang mencukupi. Titik
layanan kian melebar, tak hanya di daerah Menteng, tebet, Kebayoran Baru dan
wilayah – wilayah di Jakarta Pusat, tapi juga sampai ke Jakarta Timur, Barat
dan Utara. Di era akhir dialami keluarga Bu Djoko tengah mempersiapkan asawarsa
60-an secara alamiah memasuki babak baru yang sangat penting. Sebuah fase
dimana kehidupan berbisnis tidak lagi sekedar “aktivitas keluarga” untuk
menambah rezeki. Pada tahun – tahun menjelang 1970 realita membuktikan bahwa
mereka mampu membesarkan armada dan mendulang keuntungan yang signifikan.
Mereka bisa menambah jumlah mobil
sendiri lebih dari 60 buah.
Memasuki
dasawarsa 70-an, sebuah kabar gembira berkumandang. Ali Sadikin, Gubernur DKI
Jakarta saat itu mengumumkan Jakarta akan memberlakukan izin resmi bagi
operasional taksi. Didasari kenyataan bahwa masyarakat Jakarta sangat
membutuhkan taksi. Peluang ini direspons dengan insting luar biasa dari Bu
Djoko. Maka memasuki tahun 1971, dengan spirit penuh ia segera berangkat ke
DLLAJR untuk mendapatkan surat izin operasional. Namun anti klimaks dari
harapan, Bu Djoko selalu ditolak karena alasan bisnis dia masih kecil. Memang
saat itu yang mendapatkan izin adalah perusahaan – perusahaan yang pernah
menjalankan bisnis angkutan besar. Namun Bu Djoko sosok yang tak kenal putus
asa. Tak terhitung jumlahnya berapa kali dia selalu mengalami penolakan. Hingga
terbesit ide brilian untuk mengumpulkan isteri janda pahlawan yang telah
menitipkan mobil mereka untuk dikelola sebagai taksi. Diajaknya para janda
pahlawan untuk bersama – sama menyerukan petisi kemampuan perempuan dalam
memimpin usaha. Mereka mendatangi kantor gubernur dan menghadap langsung Ali
Sadikin. Menghadapi orasi Bu Djoko, Ali sadikin tersentuh dan menetapkan agar
Bu Djoko diberikan izin usaha untuk mengoperasikan taksi. Sungguh sebuah
pencapaian menggembirakan dari kesabaran bolak – balik melobi DLLAJR. Walau
akhirnya harus melalui pertemuan dengan Gubernur.
Bu
Djoko tak berminat bergabung. Ia lebih berpikir untuk mencari jalan bagi
kemandirian bisnisnya. Tak ada jalan lain untuk menghubungi Bank. Yang terjadi
kemudian adalah sentuhan invicible hand yang bekerja dalam memudahkan Bu Djoko
mendapat pinjaman Bank. Mantan murid suaminya dengan cepat membantu memuluskan
proses di Bank dan pinjaman pun mengalir. Bagi Bu Djoko suatu yang sangat luar
biasa. Di atas kertas sulit mendapatkan dana yang mencukupi untuk membeli 100
mobil. Tapi saat itu dia bisa! Di tahun itu pula Bu Djoko dan anak – anaknya
bersiap mencari nama dan logo taksi. Taksi Chandra tetap dijalankan sebagai
taksi per jam atau hourly. Sementara taksi baru di bawah PT Sewindu Taksi
segera disiapkan namanya. Ide lagi – lagi datand dari Bu Djoko, hingga
diberilah nama taksi Blue Bird. Dengan logo sederhana berupa Siluet burung
berwarna biru tua yang sedang melesat, hasil karya pematung Hartono. Logo itu
seperti pencapaian yang membuktikan bahwa ia mampu menghidupkan cita – cita
yang diteladankan kisah The Bird of Happiness.
Pada
tanggal 1 Mei 1972, jalan – jalan di Jakarta mulai diwarnai taksi – taksi
berwarna biru dengan logo burung yang tengah melesat. Taksi itu mencerminkan
semangat jerih dan idealism uang dikorbankan Bu Djoko. Bersama tim di PT.
Sewindu Taxi, Ournomo pun mantap menjalankan tugas operasional perusahaan. Bisa
dikatakan tahun – tahun 70-an merupakan masa penggodokan idealism Blue Bird.
Dalam kesederhaan Bu Djoko memimpin perjalanan besar membawa Blue Bird siap
mengarungi zaman. Dia menanamkan kepada awak angkutan bagaimana menumbuhkan
sense of belonging yang tinggi terhadap Blue Bird dengan menjadi “serdadu –
serdadu” tangguh dan penuh pengorbanan. Mereka menikmati masa – masa sangat
bersahaja dimana teknologi sama sekali belum menyentuh Blue Bird. Di paruh kedua
dasawarsa 70-an, kekuatan armada Blue Bird telah bertambah menjadi sekitar 200
lebih taksi. Pengelolaan yang sangat rapid an manajemen keluarga yang sehat
memungkinkan PT. Sewindu Taxi yang menaungi Blue Bird menambah armadanya. Mobil
– mobil tersebut ditempatkan di dua pool yang ada, di jalan Garuda, Kemayoran
dan di jalan Mampang Prapatan. Purnomo dipercaya untuk memimpin Blue Bird
sebagai ditektur operasional, setelah sang kakak Chandra fokus di PTIK.
Setelah
melewati tahun – tahun yang berat dalam menegakkan idealism di era 70-an,
dasawarsa selanjutnya mulai disiniari optimism yang lebih kuat. Nilai – nilai
dan prinsip Blue Bird yang ditancapkan Bu Djoko telah berakar dan menghasilkan
batang serta dahan yang sehat. Memasuki dasawarsa 80-an, Purnomo, Mintarsih,
dan Bu Djoko semakin memperkuat kekompakkan. Chandra kadang – kadang ikut dalam
diskusi selepas kesibukannya di PTIK. Sisa masalah dari tahun-tahun sebelumnya
masih menjadi momok dan beberapa masalah krusial. Tapi purnomo yang sudah
dimatangkan oleh pengalaman era 70-an sudah jauh lebih percaya diri untuk
menghadapi kesulitan di lapangan. Purnomo melewatkan tahun – tahun awal di
dasawarsa 80-an dengan kerja uang luar biasa keras. Setelah 8 tahun bisa
bertahan, wajah bisnis ini terlihat sangat jelas. Blue Bird bisa mengukur diri
apakah mampu melanjutkan perjalanan atau tidak. Bu Djoko dan ketiga anaknya
bertekada maju terus.
Pada
tahun 1985, 13 tahun setelah Blue Bird lahir, armada bertambah gemuk, hampir
mencapai 2.000 taksi. Keyakinan Bu Djoko bahwa masyarakat perlahan tapi pasti
akan memilih Blue bird dengan kualitas layanan proma dan sistem argometer yang
terpercaya akan terbentuk. Dan benar! Saat itulah muncul banyak taksi – taksi
tanpa meteran. Ketika masyarakat memilih taksi meteran yang layak, pilihan
jatuh pada Blue Bird yang telah mantap menjalankan sistem agrometer selama
belasan tahun. Memasuki paruh kedua dasawarsa 80-an bisa dibilang Blue Bird
terus memantapkan diri. Apresiasi masyarakat terbentuk, citra Blue Bird sebagai
taksi ternyaman, teraman, dengan pengemudi yang santun telah dikenal luas dan
menjadi suatu keyakinan yang mengakar. Inilah masa dimana operator Blue Bird
sibuk melayani permintaan konsumen yang membeludak. Jumlah taksi terus
bertambah mendekati 3.000 unit. Order terus meningkat. Blue bird tak pelak
menjadi pilihan para pemilik gedung – gedung sebagai taksi resmi di tempat
mereka. Blue Bird berkibar di banyak titik di Jakarta.
Kemajuan
demi kemajuan tak terbendung lagi di tubuh Blue Bird. Manajemen yang rapi,
idealisme yang dijaga ketat, pengaturan finansial yang sangat matang dan
strategi ekpansi yang arif, membuat langkah kemajuan Blue Bird begitu tertata
dan sangat cantik. Perpaduan antara kekuatan karisma Bu Djoko, agresivitas dan
kreativitas Purnomo, serta ketenangan strategi Chandra membuat Blue Bird di era
90-an menunjukkan perkembangan yang sehat. Faktor yang mempengaruhi kemajuan
Blue Bird di era ini, tak pelak adalah kemajuan persepsi masyarakat. Sungguh
tepat prediksi Bu Djoko tentang perusahaan taksi masa depan. Bahwa kelak di
kemudian hari, masyarakat akan mencari, membutuhkan dan fanatic pada taksi yang
teruji kualitas pelayanannya, aman, prima dan nyaman. Argometer yang dulu jadi
momok dan dianggap “mimpi di siang bolong” ternyata tak terbukti. Justru argometer
yang dipakai Blue Bird menjadi standar paling fair yang dicari penumpang.
Inilah
catatan penting dari perjuangan Bu Djoko dalam membidik sukses masa depan:
kesabaran, teguh dalam prinsip, kepemimpinan yang tegas dan bijaksana serta
profesionalisme. Setelah perjuangan berat di era 70-an dan 80-an, maka era
90-an memberikan Blue Bird Group manis buah yang manis. Perkembangan asset
adalah hal yang paling menonjol jika membicarakan kemajuan Blue Bird di era
90-an. Jumlah taksi sebelum krismon mencapai hampir 5.000 mobil. Jumlah pool
terus bertambah. Blue Bird pun berkembang di sejumlah Provinsi. Generasi 90-an
akhirnya ikut merasakan bagaimana tegak di tengah kepungan terror pihak yang
tak suka akan kehadiran Blue Bird. Sebuah inovasi baru juga dilakukan Blue Bird
Group melalui peluncuran Silver Bird, Executive Taxi pada tahun 1993.
Di
negara – negara lain tidak ada yang namanya executive taxi. Yang beredar adalah
general taxi dengan batas tarif yang telah ditentukan pemerintah. Ide diawali
oleh diadakannya KTT Non Blok yang digelar di Indonesia tahun 1992. Saat itu
pemerintah menyediakan fasilitas mobil mewah untuk kebutuhan mobilitas semua
peserta KK, yakni 320 sedan Nissan Cedric. Pemerintah akhirnya menunjuk Blue
Bird menyediakan 320 penggemudi andal dan berpengalaman. Usai KTT, ratusan
sedan mewah tersebut menganggur. Saat itu lahirlah pemikiran untuk menciptakan
satu produk baru berupa taksi kelas eksekutif yang lebih mewah. Akhirnya Blue
Bird membeli 240 dari 320 sedan mewah eks KTT dan menjadikannya sebagai Silver
Bird.
Tanggal
1 Mei 1997, Blue Bird juga meresmikan kelahiran Pusaka Group yang diniatkan
menjadi generasi yang lebih segar dan dinamis dari armada taksi yang sudah ada.
Hadirnya Pusaka Group yang menggiurkan taksi Cendrawasih dan Pusaka Nuri pada
awalnya merupakan cita – cita Blue Bird untuk melahirkan generasi baru Blue
Bird yang lebih modern. Sebagai perusahaan konservatif, Blue Bird sangat
berhati – hati meluncurkan bisnis batu yang belum bisa dijamin nasib masa
depannya. Maka mantaplah kemudian dilahirkan Pusaka Group sebagai anak
perusahaan yang lebih dinamis, tidak konservatif, agresif bergerak di daerah
dan dikelola murni oleh keluarga Bu Djoko. Pusaka Group ternyata menunjukkan
keberhasilannya. Selanjutnya didirikan Golden Bird yang beroperasi di Bali.
Diikuti daerah – daerah lain seperti Surabaya, Bandung, Manado, Medan,
Palembang dan Lombok.
Di
dasawarsa 90-an kesehatan Bu Djoko merosot akibat serangan kanker paru – paru.
Sosoknya bersemangat tak merasa tersudutkan oleh penyakitnya. Sambil terus
memimpin perusahaannya, Bu Djoko menyediakan banyak waktu, perhatian dan tenaga
untuk menyembuhkan penyakitnya. Tapi kanker paru – paru yang dideritanya
terlalu buas untuk tubuhnya yang semakin menua. Pada tanggal 10 Juni tahun 2000 ia menutup mata di
RS Medistra. Sang Burung Biru itu telah pergi. Tapi ia meninggalkan sesuatu
yang tak pernah terhapus waktu. Semangat murninya tidak hanya tersimpan di hari
anak – anak dan cucunya. Tapi juga mengalir di segenap batin puluhan ribu
karyawannya, mengudara di gedung – gedung dan pool Blue Bird dan melesat
bersama taksi – taksi Blue Bird yang melintas di jalan – jalan. Blue Bird di
era Millenium bagaikan burung yang terbang tinggi, melebarkan kepak sayapnya
dan menambah cakrawala luas. Kehadiran para cucu, meningkatnya pengalaman
Chandra dan Purnomo dan semakin tingginya jam terbang karyawan membuat
perusahaan ini terbaik di bidangnya. Pada dasawarsa keempat Blue Bird berjuang
melintasi era teknologi canggih dan berusaha luwes.
Perusahaan
ini telah berkembang sedemikian rupa seperti benih yang menumbuhkan batang kuat
dan menghasilkan rimbun dedaunan dengan dahan yang terus bertambah banyak. Dari
awal bergulirnya dengan 25 kekuatan taksi, kini Blue Bird telah memiliki lebih
dari 20.000 unit armada. Kini ada 30.000 karyawan yang berkarya di kantor pusat
dan cabang. Tak kurang 9 juta penumpang dalam sebulan terangkut oleh armada
Blue Bird di sejumlah kota di Indonesia. Jumlah pool telah mencapai 28 titik.
Armada juga terus diremajakan. Beberapa kali mengganti kendaraan dengan yang
baru. Armada Silver Bird yang semula menggunakan sedan Nissan Cedric kemudian
diganti dengan Mercedes di tahun 2006. Sebuah terobosan luar biasa yang
mencengangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar